Padamasa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stads politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain. Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi.
- Sejarah perkembangan organisasi kepolisian di Indonesia dapat dirunut hingga awal abad ke-19. Kala itu, kolonialisme Belanda di Pulau Jawa memasuki era baru. Bangkrutnya VOC pada 1799 dan kemudian berdirinya Hindia Belanda menyebabkan sistem administrasi dan birokrasi pemerintahan koloni perlu diatur ulang. Negara kolonial kini diatur dengan prinsip pemerintahan tidak langsung oleh Binnenlandsch Bestuur BB. Secara struktural, otoritas tertinggi BB dipegang oleh seorang gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di tanah koloni. Birokrat BB menjangkau rakyat pribumi melalui sistem Pangreh Praja atau Inlandsch Bestuur. Secara formal, kedua sistem ini berjalan sejajar. Sejarawan Onghokham menyebut, birokrat-birokrat di kedua sistem ini berelasi laiknya “kakak-adik”. Para pejabat BB, si kakak, bertugas mengurus segala kepentingan kolonial, seperti urusan perdagangan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sementara itu, birokrat Pangreh Praja bertugas di bawah arahan para tuan tanah maupun penguasa lokal di wilayahnya. “Selama pelaksanaan sistem ini, pejabat lokal Belanda bertanggung jawab untuk berkonsultasi dengan priayi setempat guna memutuskan apa yang harus ditanam, di mana, dan bagaimana, serta bagaimana kelanjutannya,” tulis Onghokham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah 2018, hlm. 104. Sistem pemerintahan dualistik ini juga berlaku untuk urusan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di koloni. Baik BB maupun Pangreh Praja memiliki lembaga kepolisian yang terpisah. Dualisme organisasi kepolisian ini dikukuhkan dalam Politiereglementen Peraturan Kepolisian yang dikukuhkan pada 1816—setelah Hindia Belanda dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. “Beranjak dari peraturan tersebut, tanggung jawab atas pemeliharaan keamanan masyarakat bumiputra berada di tangan pangreh praja. Adapun pemerintahan Eropa bertanggung jawab atas urusan pemeliharaan keamanan masyarakat Eropa,” tulis sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda 2011, hlm. 9.Organisasi Kepolisian yang Tidak Efektif Kepolisian untuk melayani masyarakat Eropa berada di bawah pengawasan jaksa agung dari Pengadilan Tinggi Hindia Belanda. Sementara itu, kepolisian bumiputra terstruktur mengikuti pembagian karesidenan dan diawasi oleh residen. Meski begitu, kerja harian kepolisian bumiputra diatur oleh jajaran Pangreh Praja—mulai bupati, wedana, asisten wedana, hingga kepala desa. Sejak itu, muncullah berbagai satuan polisi dengan tugas dan ruang gerak yang spesifik. Ada polisi kota stadspolitie, polisi desa desapolitie, opas polisi politieoppasser, polisi perkebunan cultuurpolitie, hingga polisi pangreh praja bestuurspolitie. Menurut Bloembergen, inti pemeliharaan keamanan masyarakat kolonial terletak di desa. Karena itulah, kepala desa pada pertengahan abad ke-19 dibebani tanggung jawab sebagai pemimpin kepolisian desa. Jangan bayangkan polisi desa sebagai petugas-petugas berseragam, dengan pangkat di pundak, dan menjalankan tugas-tugas resmi. Mereka pada dasarnya adalah semua warga lelaki dewasa di desa yang menjalankan tugas menjaga keamanan secara bergiliran. Mereka punya jadwal ronda dan ditempatkan di pos-pos tertentu dalam desa atau di sepanjang jalan antardesa. “Ronda dan jaga di gardu yang dijalankan oleh warga masyarakat tanpa upah dan pelaksanaannya sangat bergantung pada kepemimpinan lokal, kiranya, bukan jaminan bagi pemeliharaan keamanan yang efektif,” tulis Bloembergen hlm. 13. Para polisi desa ini bekerja tanpa motivasi karena mereka tidak digaji. Menjadi polisi desa adalah pekerjaan sambil lalu di samping pekerjaan utama sebagai petani. Lagi pula, tidak ada ganjaran apa pun mana kala mereka melakukan suatu prestasi—misalnya, berhasil menangkap maling. Pun demikian, pada pertengahan abad ke-19, tugas menjaga keamanan lazim pula diserahkan kepada para jago bayaran. Hal ini terjadi baik di kalangan bumiputra maupun komunitas Eropa. Salah satu contohnya pernah tercatat pada 1867, ketika sekelompok orang Eropa tajir di Semarang menyewa 78 jago untuk menjaga keamanan komunitas dan hartanya. Pada intinya, pada saat itu, boleh dikatakan Hindia Belanda belum memiliki organisasi kepolisian yang modern dan profesional. Tangkap Maling dengan Maling Jasa para jago juga banyak dimanfaatkan oleh Pangreh Praja untuk menjadi polisi informal di suatu wilayah. Dalam praktiknya, tugas mereka berkembang dari urusan keamanan wilayah hingga soal pengamanan pribadi seorang pejabat atau priayi. Di titik inilah berlaku sebuah adagium yang sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat Jawa tradisional menangkap maling dengan maling. Sebelum era kolonial, para jago atau kelompok bandit lazim mengorbit pada seorang raja atau bangsawan. Mereka biasa bertindak sebagai tukang pukul ketika terjadi konflik antarbangsawan. Mereka juga biasa dimanfaatkan sebagai mata-mata, penarik pajak, atau pengawas pekerja. Soemarsaid Moertono dalam Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau 1985 menyebut, penguasa Jawa tradisional juga lazim mengangkat pentolan bandit atau jago yang kuat sebagai pejabat daerah. Ada kalanya lurah suatu desa adalah mantan bandit yang tobat dan diserahi tanggung jawab menjaga keamanan desa. Seturut Onghokham, praktik ini rupanya berjalan terus hingga era kolonial abad ke-19. Bupati Madiun Brotodiningrat 1887-1900, misalnya, memiliki jaringan polisi dan mata-mata yang terdiri dari para bandit yang disebut weri. “Pada akhir abad ke-19, dalam konteks keamanan dan ketertiban’, para jago dipekerjakan sebagai mata-mata para priayi, memberikan informasi tentang apa yang terjadi di pedesaan dan mencari para pelanggar hukum. […] Banyak dari jago-jago ini yang memiliki jabatan, seperti kepala desa atau terutama sebagai polisi desa yang tidak digaji,” tulis Onghokham hlm. 265-266. Relasi ini membuat loyalitas para polisi desa itu tidak terletak pada tugas menjaga keamanan, melainkan pada para pemimpin yang jadi patronnya. Infografik Polisi Kolonial. Reorganisasi Kepolisian Kolonial Setelah pemberontakan petani pecah di Banten pada 1888, Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu melakukan reorganisasi kepolisian kolonial. Reorganisasi ini juga dilakukan untuk merespons meningkatnya kecemasan penduduk Eropa di Hindia Belanda terhadap bumiputra. Seturut Bloembergen, kecemasan itu berakar dari prasangka rasis orang Eropa, “Yang merasa terkurung dan terancam oleh masyarakat bumiputra yang tampak sangat asing dan menakutkan bagi mereka.” Beberapa aspek yang menjadi fokus reorganisasi di antaranya perluasan personel, perbaikan skala gaji, hingga soal kepemimpinan dan pengawasan. Pada 1870-an, muncul pula rekomendasi untuk membentuk korps kepolisian bersenjata. Korps baru ini direncanakan punya tugas khusus untuk menghentikan kerusuhan. “Beranjak dari sejumlah nota dari tahun-tahun yang lalu, Direktur Dalam Negeri Arends merancang suatu proposal yang menjadi landasan reorganisasi 1897,” tulis Bloembergen. Pada Maret 1897, Pemerintah Kolonial memulai sebuah proyek reorganisasi kepolisian. Dimulai dengan pembedaan antara opas polisi dan opas kantor. Para opas polisi ini pun kini berseragam. Jumlah personel polisi pun ditambah dan, sesuai rekomendasi beberapa residen, dibentuklah satuan polisi bersenjata. Meski begitu, pada periode awal reorganisasi, ada perbedaan jabatan antara pribumi dan Eropa di dalam satuan kepolisian. Sebagai gambaran, pribumi tidak diperkenankan menjabat sebagai hoofd agent bintara, inspecteur van politie dan commisaris van politie. Pemerintah Hindia Belanda juga menciptakan jabatan-jabatan khusus bagi polisi pribumi yaitu mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Reorganisasi 1897 pun bukan yang terakhir. Kepolisian Kolonial Hindia Belanda masih melakukan beberapa kali reorganisasi hingga 1920. - Sosial Budaya Penulis Tyson TirtaEditor Fadrik Aziz Firdausi
Setelahmenyerahnya Hindia Belanda kepada Jepang pada 8 Maret
- Hampir seabad silam, pada 1918, C. van Rossen diminta datang ke Betawi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Paul van Limburg Stirum. Orang nomor satu di Hindia Belanda itu, menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan 2011, menilai van Rossen sebagai tokoh yang sangat bersih. Kala itu, Hindia Belanda belum memiliki kepolisian yang tertata sistemnya. Termasuk sistem keuangannya. Gubernur Jenderal tentu butuh orang jujur, van Rossen dianggapnya cocok. Di Betawi, van Rossen menjadi Kepala Polisi Lapangan Betawi, dengan pangkat Komisaris Besar. Setidaknya, ia pernah terlihat menjadi perwira yang punya inisiatif mengenai seragam kepolisian. Pada 1921, ia memberi masukan cukup penting mengenai bagaimana seharusnya seragam polisi. Sebelumnya, seragam polisi lapangan di Jawa hanya mementingkan penampilan, tapi kurang memperhatikan kepraktisan. “Agar unit polisi lapangan diberikan seragam yang sesuai kuat, tidak terlalu panas, warna yang tidak mudah kotor, mudah dicuci dan memudahkan pergerakan di lapangan,” ujar van Rossen seperti dikutip Bloembergen. Belakangan, van Rossen diangkat menjadi kepala bagian pembukuan kepolisian. Akhir tahun 1922, van Rossen sudah punya sebuah mobil merah bermerek Hudson, rumah mewah, dan vila di Negeri Belanda. Diam-diam Asisten Residen Betawi, van Helsdingen mulai mengawasinya sejak November 1922. Ketika itu, polisi di bawah koordinasi departemen dalam negeri dan tak sentralistis seperti di masa-masa setelahnya. Soal keuangan pun masih terkait pemerintah keresidenan. Asisten Residen ikut mencermati dan mengawasi kepolisian. Beberapa polisi didapatinya bermasalah. Ada agen kepala bernama Muller yang melaporkan atasannya, kepala reserse unit candu bernama WJ Kelder, telah terlibat penyelundupan candu. Asisten Residen tak temukan bukti. Namun belakangan Kelder kena hukum karena menyelewengkan pembukuan. Kelder juga ternyata kecanduan morfin. Seorang kepala reserse bernama Tjoa Bok Seng juga ditangkap karena bermasalah. Kawasan judi dan pelacuran di Senen juga menjadi "sapi perah" polisi. Ada 15 tempat pelacuran dan judi yang tiap bulan menyetor uang sebesar gulden ke polisi di Senen. Asisten Residen mencurigai komisaris van Rossen menjadi kepala polisi yang membiarkan penyelundupan candu merebak di Betawi. Namun, van Helsdingen tak punya bukti kuat untuk masalah tersebut. Kejahatan van Rossen yang berhasil dibongkarnya adalah menggelapkan uang 1 juta gulden. Selama bertahun-tahun ia memperkaya diri dengan memainkan pos anggaran kepolisian. Pada 8 September 1923, van Rossen akhirnya ditahan dan dipecat. Tentu saja korupsi duit sejuta gulden sang komisaris van Rossen jadi berita gede di koran. Baik koran berbahasa Belanda maupun bahasa Melayu pasar. Koran Sin Po 13/09/1923 memberitakan bahwa korupsi di kalangan kepolisian Betawi sudah lama terendus. Sebelumnya, jika ada pemeriksaan sebagai komisaris, van Rossen selalu menghalangi. Sin Po edisi 29 September 1923 memberitakan pemanggilan van Rossen untuk diperiksa di Raad van Justitie alias kantor Pengadilan Tinggi. Bekas Asisten Residen Meester Cornelis Jatinegara Beck juga diperiksa. Tuduhannya, ia terjerat kasus penggelapan yang sama. Koran Oetoesan Melajoe-Perobahan edisi 24 Oktober memberitakan Asisten Residen Meester Cornelis itu akhirnya diberhentikan. Menurut catatan Bloembergen, pada 10 September 1923, Asisten Residen ditugaskan untuk membuka kasus korupsi van Rossen hingga tuntas. Penyelidikan kemudian menyeret komisaris besar lainnya Kepala Sekolah Polisi di Bogor bernama Misset dan Kepala depo pelatihan H de Waard. Pembukuan mereka pun mengandung penilepan duit, yang zaman sekarang dikenal sebagai korupsi. Koran Het Vaderland yang terbit di Den Haag, yang punya koresponden di Betawi, bahkan mengadakan investigasi. “Disebutkan maraknya korupsi, penerimaan uang suap dari pusat perjudian dan pelacuran yang dikelola orang-orang Tionghoa, pendapatan ilegal dari distribusi beras, perwira-perwira yang tidak becus, pengelolaan keuangan yang kacau-balau, salah kelola dalam proses penerimaan dan penempatan anggota kepolisian lapangan di Betawi. Itu semua terjadi karena kuatnya sistem saling melindungi dalam kepolisian umum di gewest daerah Betawi van Rossen, De Waard, dan Misset, semuanya berasal dari korps inspektur polisi Den Haag,” tulis Bloembergen. Hindia Belanda, yang kala itu udik dan belum semapan Eropa, tampaknya menjadi daerah basah bagi tritunggal van Rossen, De Waard, dan Misset. Mereka melihat peluang penyimpangan yang begitu besar di Hindia. Kepercayaan terhadap perwira polisi di Hindia pun merosot karena ulah van Rossen dan kolega-koleganya. Sepanjang tahun 1924, banyak perwira polisi yang diperkarakan. Bloembergen mencatat, kasus penyalahgunaan pembukuan oleh perwira korup terjadi juga di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Manado, dan Makassar. Perkaranya pada pembukuan unit polisi lapangan, yang kala itu disebut Veld Politie—punya tugas seperti Brigade Mobil Brimob masa sekarang. Sesudah van Rossen lengser, Gubernur Jenderal dan jajarannya dibuat pusing buat cari sosok pengganti koruptor di awal abad 20 itu. Para pembesar ini membicarakan suksesornya pada 2 November 1923 di Istana Gubernur Jenderal. Sekretaris pemerintah kolonial, Welter, yang belakangan menjadi Menteri tanah Jajahan Belanda, juga hadir. Belakangan tercetus ide untuk mengerahkan militer, khususnya Marsose, untuk menggantikan posisi para perwira polisi yang korup dan diberhentikan tadi. Kasak-kusuk akan melibatkan militer ke kepolisian bikin risih orang-orang di kepolisian pada 1923. Surat kabar Oetoesan Melajoe Peroebahan 15/11/1923 memberitakan Politie Bond Perkumpulan anggota Polisi merasa tidak senang dan menyatakan keberatan atas rencana pengangkatan perwira-perwira militer KNIL sebagai kepala Polisi di Betawi. Mereka mengajukan surat keberatan itu kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Betawi. Suka tidak suka, perwira militer akhirnya turun tangan. Menurut catatan Marieke Bloembergen, penutupan tempat judi dan pelacuran Senen pun harus melibatkan Kapten Retering dan Letnan Drost dari Marsose—unit polisi militer khusus yang terkenal kejam dalam Perang Aceh. Namun, perkara suap-menyuap ternyata tak hanya terjadi di zaman kolonial. Setelah Indonesia merdeka, penyuapan sering terjadi. Mantan Kapolri legendaris Hoegeng Imam Santoso yang dikenal jujur itu, dalam Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan 1993, pernah bercerita bagaimana ia disambut oleh pengusaha yang memberinya rumah beserta perabotan lengkap dan mobil di Medan pada 1950-an. Hoegeng saat itu memilih untuk mengembalikan pemberian si pengusaha. Ketika itu Medan terkenal dengan penyelundupan, judi, dan korupsi. Namun Hoegeng tidak bercerita soal keterlibatan polisi. Soal korupsi di kepolisian setelah tahun 2000 tak kalah hebat. Bukan lagi seorang komisaris besar, tapi jenderal polisi juga terlibat kasus korupsi alat simulator ujian SIM. Namanya Djoko Susilo. Ia merugikan negara hingga Rp100 miliar. - Humaniora Reporter Petrik MatanasiPenulis Petrik MatanasiEditor Fahri Salam
Tempatdi Jakarta yang ditetapkan sebagai kambung Arab oleh pemerintah Hindia Belanda di abad ke-18 POLISI 1 badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang melanggar undang-undang); 2 anggota dari badan
- Sejak PNI berdiri pada Juli 1927, nama Sukarno sebagai orator tiada terbendung. PNI membesar dan Sukarno kian giat beragitasi di mana-mana. Setelah Sarekat Islam dan Tjokroaminoto turun pamor, juga pemberontakan gagal PKI pada 1926, Sukarno adalah eksponen pergerakan nasional yang paling menonjol. Tapi pengaruh itu juga membawa konsekuensi. Rapat-rapat umum yang dihadiri Sukarno dan diawasi polisi menjadi pemandangan biasa pada saat itu. Tak hanya mengawasi, para polisi juga membuntuti Sukarno dan kawan-kawan ke mana pun mereka pergi. “Mereka mengintipku seperti memburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat sulit untuk lepas dari pengawasan mereka,” ungkap si Bung dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia 2007 99. Meski mulanya tak acuh, toh Sukarno sempat jengah juga. Tapi daripada bikin perhitungan langsung, Sukarno lebih suka mengerjai polisi-polisi yang membuntutinya. Suatu kali Sukarno dan kawan-kawan PNI-nya sepakat bertemu di sebuah rumah bordil. Tentu saja mereka bermaksud rapat organisasi di sana, bukan lain-lain. Bubar rapat, mereka pulang dengan cara berpencar. Memang benar rapat itu tak luput dari intipan polisi. Hanya saja mereka tak bisa lapor apa-apa karena tak bisa masuk rumah bordil sembarangan. Jadilah, esoknya Sukarno dipanggil menghadap Komisaris Besar Polisi Albrechts. “Sekarang dengarlah, Tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa Anda semalam ada di sebuah rumah pelacuran. Apakah Anda mengingkarinya?” tanya si komisaris dalam interogasinya. “Aku tidak dapat berdusta kepada Anda. Anda mengetahui aku, kukira,” jawab Sukarno enteng. “Untuk apa? Kenapa Anda pergi ke sana?” sergah Komisaris Albrechts. Di sini Sukarno merasa menang. Polisi memang tak berani asal masuk ke rumah bordil dan karenanya tak bisa memata-matainya. Sukarno lalu meneruskan keusilannya dengan mengaku ia ingin berkasih-kasihanan dengan seorang perempuan di sana. “Kami akan membuat laporan lengkap mengenai hal ini,” ancam Komisaris Albrechts. “Untuk siapa? Istriku?” kata Sukarno berlagak pilon. Komisaris Albrechts menjawab sekenanya, “Tidak, untuk pemerintah.” Sukarno tidak sendiri. Pada masa itu seorang aktivis pergerakan nasional dimata-matai polisi kolonial adalah sebuah kelaziman. Pengalaman serupa itu juga bisa didapati dalam memoar Hatta dan Tan Malaka. Dan lagi, mereka itu masih juga dihadapkan pada risiko penangkapan, sensor, pembubaran organisasi, hingga pengasingan. Demikianlah Hindia Belanda bekerja sebagai negara Polisi Hindia Belanda Penyebutan Hindia Belanda sebagai negara polisi agaknya sudah cukup jamak di kalangan sejarawan. Di antara yang menyebutnya demikian adalah Takashi Shiraishi dan Harry Poeze. Bahkan Gubernur Jenderal Idenburg pun menyebut demikian pula. Sementara itu sejarawan Henk Schulte Nordholt menyebut dengan istilah yang agak berlainan, meski medan maknanya mirip negara kekerasan. Lalu, apa itu negara polisi? Seturut Merriam-Webster Dictionary, negara polisi ditandai oleh kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang biasanya dilakukan dengan kekuasaan arbitrer polisi atau intelijen sesuai dengan prosedur hukum yang diketahui secara publik. Untuk konteks Hindia Belanda, Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda 2011 memberi pengertian sebagai, “negara yang secara berkelanjutan mereduksi persoalan yang muncul dari pergerakan bangkitnya nasionalisme atau kebangsaan di kalangan masyarakat menjadi sekadar masalah kepolisian” hlm. 317-318. Praktik yang paling banal dari pengertian itu adalah pembatasan terhadap kebebasan dan aktivitas politik warga dan pengawasan ketat terhadap gerak individu. Bahkan pengawasan macam ini dilakukan secara kebablasan oleh pemerintah Hindia Belanda. Polisi kolonial tak hanya menyasar eksponen politik, tapi juga setiap individu yang dianggap punya potensi ancaman. Simak misalnya cerita sejarawan Ong Hok Ham tentang akademikus kolonial asal Perancis bernama Bousquet dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang 2003. Cendekiawan ini mengunjungi Hindia Belanda pada 1930. Sebagai pengamat, Bousquet sebelumnya punya kekaguman dan citra positif tentang Hindia Belanda. Namun begitu sampai di sana seluruh kekagumannya luntur. Ke mana-mana ia diawasi dan ceramah-ceramahnya diancam undang-undang subversi. Padahal ia adalah seorang konservatif yang cenderung setuju dengan kolonialisme dan ceramahnya pun tak berkaitan langsung dengan Hindia Belanda. Dalam penilaiannya, aparat Hindia Belanda terlalu banal dalam membelokkan hukum untuk mengamankan kepentingan pemerintah kolonial. Menurut Ong Hok Ham, kebijakan polisionil diterapkan karena memang cocok untuk Belanda. Tak seperti Inggris dan Perancis yang besar dan militernya kuat, Belanda adalah negara kecil. Keadaan itu membuat Belanda harus pintar-pintar mengatur daerah jajahannya dengan meminimalisasi penggunaan senjata. Eksekusi dan hukuman mati sebisa mungkin dihindari karena Belanda tak menginginkan adanya martir yang bisa membangkitkan perlawanan rakyat jajahan. “Oleh karena itu, politik Hindia-Belanda dalam menghadapi lawan-lawan politiknya adalah dengan mengantisipasi dan menghalangi gerak mereka,” tulis Ong Hok Ham hlm. 173. Lain itu, Hindia Belanda dijuluki negara polisi bukan hanya karena pengawasan ketat atas warganya. Bloembergen menyebut setidaknya ada tiga lagi alasan kuat yang mencirikannya. Pertama, memukul rata semua persoalan politik sebagai gangguan ketertiban dan keamanan. Kedua, adanya lembaga kepolisian yang diberi wewenang turut campur dalam politik warga. Ketiga, kepolisian menjadi alat negara yang langsung dikendalikan pemerintahan pusat hlm. 319.Represi Dinas Intelijen Hindia Belanda tidak serta-merta jadi negara polisi sejak awal terbentuk. Bloembergen menandai itu baru terjadi pasca-Perang Dunia I. Saat perang berkecamuk di Eropa, Belanda mengambil sikap netral. Oleh sebab itu pemerintah Belanda merasa perlu memahami potensi-potensi yang bisa merusak netralitas tersebut, termasuk di negeri jajahannya. Di Hindia Belanda kebutuhan itu meluas. Pemerintah kolonial, saat itu dikepalai Gubernur Jenderal van Limburg Stirum, merasa perlu juga mengumpulkan segala informasi perihal pergerakan kaum nasionalis yang sedang mekar. Posokan informasi ini nantinya akan digunakan untuk membuat kebijakan terhadap para aktivis kemudian pada 1916 pemerintah kolonial membentuk Politieke Inlichtingen Dienst PID alias Dinas Intelijen Politik. Kantor dan agen-agen PID umumnya ditempatkan di kota-kota yang dianggap sarang oposan dan pergerakan politik radikal seperti Batavia, Bandung, Semarang, atau Surabaya. Ketika Perang Dunia I berakhir, PID ikut dibubarkan pada 1919. Namun pemerintah kolonial justru ketagihan memanfaatkan fungsi intelijen itu. Dan lagi pergerakan nasionalis yang kian berani juga menakutkan pemerintah. Maka, hanya berselang lima bulan dari pembubaran PID, pemerintah mendirikan lembaga baru bernama Algemene Recherche Dients ARD. Tugas dan kewenangan ARD tidak berbeda dengan PID. “ARD menjadi momok menakutkan bagi kaum pergerakan, yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik mereka ke mana pun. Kongres, rapat, maupun pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh tokoh pergerakan tidak luput dari pengawasan ARD,” tulis Allan Akbar dalam Memata-matai Kaum Pergerakan Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 2013 7. Infografik Negara Polisi Hindia Belanda ARD berkembang tak hanya jadi alat pengawasan, tapi juga alat menindak oposan yang “bandel”. ARD pun tak cuma mengumpulkan informasi dari agennya sendiri, tapi juga dari kepolisian umum. Agen-agen mereka hadir di rapat-rapat umum, mengawasi penerbitan kartu pers, menyensor media, merekomendasikan penangkapan dan pengasingan, hingga memata-matai tempat-tempat umum. Sikap pemerintah kolonial terhadap pergerakan nasionalis kian mengeras usai pemberontakan PKI 1926-1927. Pemerintah kolonial yang merasa kecolongan pun mengevaluasi dan memperkeras ARD. Kemitraan dengan dinas intelijen kolonial Inggris dan Perancis juga dibangun untuk memperkuat ARD. “Pemerintah tampaknya tidak lagi menenggang baik komunisme maupun gerakan-gerakan sosial-politik kemasyarakatan lainnya yang dianggap oleh polisi politik setara dengan itu. Ruang gerak pergerakan menjadi semakin sempit, sebaliknya ruang gerak polisi politik semakin luas,” tulis Bloembergen hlm. 332. Pengalaman Sukarno adalah salah satu contoh bagaimana polisi kolonial bekerja. Selain secara rahasia, mereka juga kerap hadir dalam rapat umum dan tak segan-segan memberhentikan pidato atau membubarkan rapat jika substansinya dianggap subversif. Tindakan macam itu bahkan tak berhenti walaupun si bandel sudah kena pentung pemerintah kolonial. Ketika Sukarno diasingkan ke Ende 1934-1938, ia tetap dibuntuti ke mana pun pergi. Dia pernah pula dituduh melakukan kejahatan besar hanya karena mengajarkan lagu "Indonesia Raya" kepada anak-anak kampung tempatnya diasingkan. Pemerintah kolonial sampai perlu menugaskan bangsawan setempat untuk menyelidiki perkara itu. Sukarno dianggap hendak merusak psikologi anak-anak di bawah umur. Meski kemudian hasil penyelidikan itu menunjukkan Sukarno tak bersalah, ia tetap kena hukum.“Aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda sebesar 5 rupiah, senilai dua dollar,” kenang Sukarno dalam autobiografinya hlm. 161. - Sosial Budaya Penulis Fadrik Aziz FirdausiEditor Ivan Aulia Ahsan